On: Languages

Salsabiila Luqman
5 min readFeb 25, 2022

--

Gen Z di Indonesia ini bahasa Inggrisnya pada canggih betul.

Kalau nggak karena main Twitter, aku gaakan tau kalau banyak dari mereka yang umurnya jauh di bawah aku. Dalam beropini, mereka bukan lagi pakai conversational English, udah gitu banyak pula yang mampu memahami berita berskala internasional. Begitu nengok bio mereka, langsung kaget ngeliat 02L, 05L, dan 10L yang tertera (read: kelahiran tahun 2002, 2005, dan 2010). Bahasa Inggris, selain menjadi salah satu dari enam bahasa resmi di PBB, juga jadi salah satu bahasa yang paling banyak penuturnya.

Mungkin karena internet dan keberadaan bahasa asing yang satu itu seakan nggak mengenal jarak, orang jadi (sadar nggak sadar) mengakrabkan diri sama bahasa itu. Juniorku, misalnya. Karena terbiasa main game dan ngobrol sama kakaknya yang kerja di kantor multinasional, akhirnya bikin dia berhasil meraih skor 633 untuk TOEFL. Kalau jawabannya bener semua? 677.

Aku? Bahkan nggak mencapai skor yang diminta perusahaan kebanyakan; 550.

chat dari adminnya.

Ada juga Devon dan Mischka, dua generasi Z yang punya total 40 medali padahal masih SMP, sampe masuk MURI. Mereka yang basis sekolahnya internasional, bikin aku melongo sama kecakapan mereka dalam memahami soal olimpiade matematika pakai bahasa Inggris, serta betapa well-spoken keduanya waktu battle sama Jerome.

Sky Tierra Solana, anaknya Ernest Prakasa kelahiran 2009, juga dengan apik menjelaskan fakta mengenai banyak fauna pakai bahasa Inggris, bermodalkan YouTube yang dia pantengin. Ini bukan masalah terpapar dunia maya atau nggaknya, aku merasa daya juangku menaklukkan sesuatu tuh nol, sehingga mudah kagum dan minder (in a good way) sama mereka yang belia.

Semua kehebatan ini bikin aku bercermin dan bertanya: kenapa waktu kecil aku nggak sekeras dan seantusias mereka semua waktu belajar bahasa?

Kuncinya bukan melulu soal sekolah di mana, toh juniorku asalnya dari sekolah swasta biasa. Tapi, waktu itu aku punya rasa takut sama bahasa Inggris. Aku terlalu berpatok sama penunjuk waktu yang memusingkan (half, past, quarter), aku bingung sama grammar yang ada di buku cetak, akhirnya aku jadi musuhan sama mata pelajaran yang satu itu.

Kalau ditanya peran orang tuaku dalam mengenalkan anak-anaknya dengan bahasa Inggris, jawabannya besar. Waktu ada TOEFL di kantor, skor Mama 535 karena beliau dari dulu seneng kalo punya temen dari luar negeri. Mama juga sering diminta jadi MC untuk rapat / acara yang ada bulenya. Merasa mendapat banyak manfaat dari menguasai sebuah bahasa, Mama beliin kami CD Kidsongs, Backyard Science, Lizzie McGuire, dan Fifi and The Flowertots. Bodohnya, instead of berfokus dengan bahasa, aku malah grogi duluan dan memilih buat memahami apa yang si penutur katakan dengan nyalain subtitle sampai terlalu nyaman buat lepasinnya. Serial Fifi ini bahkan berkali-kali kucurangi dengan ngubah audionya ke bahasa Indonesia! Semenakutkan itu bahasa Inggris buatku.

Hasil akhirnya, waktu adikku sempet tanya baker’s man itu artinya apa, aku jawab dengan “kue laki-laki”. MALU BANGET! Posisiku waktu itu masih SD. Beranjak ke SMP, di mana orang-orang dengerinnya Avril Lavigne, Lady Gaga, Rihanna, Paramore, dan Coldplay, akunya malah nggak dengerin itu semua. Pernah ada satu OST yang kusuka dari anime Bleach, judulnya Life is Like A Boat. Aku udah bilang kalau aku kesulitan memahami grammar, kan? Karena suka sama lagunya, aku putusin buat nyari liriknya di internet. Baru baris ke-2, aku udah nemu kata asing. Felt. Anak SMP, nggak paham V2, rasanya super malu.

Semua buku New York Times best-sellers yang menarik perhatianku pun kubaca versi terjemahannya aja, karena jiper liat bahasa Inggris. Beda sama sepupuku yang pernah jadi asisten gurunya di mata pelajaran bahasa Inggris, sampai bisa menang lomba pidato. Perbedaan umur kami cuma 1 tahun, pula. Ngetik ini, akunya pengen tepuk jidat terus karena keinginanku untuk ngulik bahasa Inggris nggak ada sama sekali pas masih kecil.

Pernah juga pas materi listening, kami dites untuk nulis ulang lirik lagu As Long As You Love Me dan All ‘Bout The Money setelah diputar beberapa kali. Betul aja, nilaiku jeblok. Waktu disuruh ngisi kalimat yang rumpang juga aku cuma bisa nulis 1–2 kata, sama sekali nggak menghasilkan kalimat yang padu. Ngeliat temen-temenku yang satu per satu maju ke depan ninggalin aku sendirian karena tugas mereka udah selesai, bikin aku stres berat kala itu.

Waktu SMA lebih parah lagi.

Masa di mana semua orang berlomba jadi yang mendapat spotlight di mana pun ia berada, justru bikin aku ciut. Seangkatan ada 22 orang (iya, kamu nggak salah baca), dan lebih dari setengahnya bisa bahasa Inggris. Yang bikin aku makin stres, waktu kelas 11 kelasku nerima pindahan murid asal Aceh yang pernah 5 tahun di Amerika! Dengkul lemes banget rasanya. Yang kusyukuri adalah, meski ngomongnya persis native, anaknya nggak sombong sama sekali. Poin penting: bukan grammar nazi!

Yang baru-baru ini banget aku discover adalah, istilah “paved the way” yang kudengar karena dibawa oleh BTS ARMY pada tahun 2018. Zamannya FIFA World Cup 2010, Shakira ngerilis lagu berjudul Waka Waka (This Time for Africa), dan aku suka lagunya. Ternyata, ada frasa “paved the way” di dalam liriknya; sesuatu yang harusnya bisa kupahami sejak tahunan lalu kalau aku mau liat liriknya; kalau aku mau sabar belajar bahasa Inggris.

Anak sekarang? Lancar fafifu pake bahasa Inggris. Bener-bener ngaplikasiin salah satu slogan tigatra bahasa yang bunyinya, “utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”.

Nulis ini semua, jujur masih bikin aku frustrasi sekaligus menyesal, karena merasa udah nyia-nyiain waktu menimba ilmu.

Belajar dari aku yang telat memandang bahasa Inggris sebagai sesuatu yang membawa manfaat (meski masih sulit untuk bisa fasih), aku akhirnya sadar kenapa temen-temen di kampus suka lari ke aku kalau lagi ada mata kuliah Reading Comprehension, atau sekadar minta tolong dibikinin caption di Instagram. Beberapa orang emang simply nggak punya waktu aja untuk nyeriusin bahasa asing, atau masih punya ketakutan yang sama kayak apa yang aku rasain. Karena udah aware soal progress lambatku, aku mau berusaha keluar dari sana dan itu terpantul ketika aku duduk di bangku kuliah.

Aku harap, nggak ada lagi orang yang harus mengalami kemunduran karena takut sama proses belajar. Karena minder sama sekitar. Karena merasa buruk terhadap diri sendiri yang belum segemerlap prestasi orang lain. Kita mungkin lemah di satu bidang, tapi yakinlah kita akan bersinar di bidang yang lain dengan lingkungan yang tepat, ketekunan seiring perjalanan, serta dengan pendampingan yang tidak judgmental.

--

--

Salsabiila Luqman

1997 • Pribadi yang selalu kesulitan kalau disuruh mendeskripsikan diri. Tolong dibantu, ya.